Seorang anak ditanya, kamu gak pulang?”
“Belum. Belum tau ni kapan sempatnya. Masih ada amanah yang belum diselesaikan.”
Jika kita renungi kalimat yang terlontar sebagai jawaban di atas, maka akan terasa bagaimaa rasa kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya. Ada lagi kalimat seorang anak, “Sebenarnya aku mau di sini saja (di kota, jauh dari orang tua). Cuma kasihan orang tuaku. Mereka hanya berdua di rumah. Saudara-saudaraku sedang liburan. Dan mereka menginginkan aku pulang..”
Sebuah kalimat yang sekilas terkesan sebagai anak yang berbakti. Namun bila dihayati lagi, pernyataan itu seperti sebuah pernyataan karena paksaan. Bukan karena rasa rindu dan cinta yang membuncah, namun lebih dikarenakan rasa kasihan dan tuntutan untuk berbuat baik dan menuruti kemauan orang tua.
Sangat kontras jika kita bandingkan dengan cinta kasih orang tua kepada anaknya. Sedari di dalam kandungan, orang tua senantiasa menantikan kehadiran buah hatinya untuk lahir ke dunia.
Setiap malam ia mengusap-usap perutnya dengan sayang. Di setiap habis sholatya tak luput ia mendoakan akan keselamatan, kesehatan dan kesholehan anak yang tengah bersemedi dalam rahimnya. Di setiap hela nafasnya, selalu terselip harapan-harapan yang besar untuk calon mujahid/mujahidahnya.
Setiap detik, menit, jam, hari dan bulan yang berlalu, semakin bertambah beban yang ia bawa. Kemanapun ia melangkah. Tidur, masak, makan, menyapu, mencuci, belanja, dan lain sebagainya. Tidak pernah sedetikpun ia meninggalkan kita. Ia tak pernah mengeluh, tak pernah merasa kelelahan. Andaipun rasa lelah dan letih itu ada, ia akan segera sirna dengan harapan yang senatiasa menyeruak dalam dada. Harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Saat kita memasuki usia sembilan bulan, semakin terasalah rasa berat yang ibu tanggung. Semakin sering perut terasa sakit. Dan saat-saat mendebarkan itupun semakin mendekat. Waktunya semakin dekat.
Perih yang terasa semakin menjadi. Sakit sekali. Saat itu ia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan kita. Tak peduli lagi ia akan sakit yang didera. Saat itu semua otot terasa putus.
Namun, ketika terdengar tangis memecah suasana yang mencekam itu, segala sakit dan nyeri mendadak sirna. Hilang begitu saja berganti dengan kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Laksana pelangi yang muncul setelah badai.
Lalu sampai dua tahun lamanya, ibu menyusui kita. Menggendong kita kemana pun kita mau. Bahkan tak jarang, ketika kita sedang sakit, ibu menggendong kita semalaman. Berjaga semalaman demi menjaga kita. Matanya tak kan berhenti sedetikpun menjaga kita. Tak kan mungkin rela ia jika anaknya sakit, meskipun hanya disentuh oleh seekor nyamuk. Terlebih lagi saat kita harus menjalani sakit. Ibu iba-tiba terjaga dari tidurnya. Tergagap dan segera memeriksa keadaan kita. Menyentuh dengan lembut dahi kita, leher kita, merasakan apakah tubuh kita masih panas atau tidak. Kemudian perlahan mencium kening kita.
Memandangi kita untuk sekian detik lamanya. Mengusap-usap wajah kita dan menyenandung lirih doa-doa untuk kesembuhan dan kesehatan kita. Saat itu, perhatian Ibu tumplek blek pada kita. Lalu ibu beranjak sholat, dan di akhir sholatnya ia menengadahkan tangan dan lirih mengucapkan doa. Saat itu, puluhan bahkan mungkin ratusan doa menari dan berpilin naik ke angkasa .
Menginjak usia 4 tahun, ia mulai mengantarmu tiap pagi ke sekolah. Menungguimu di hari-hari pertama dan bertanya pada gurumu tentang perkembanganmu. Begitu sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga sampai engkau menginjak bangku sekolah menengah pertama.
Saat itu kau mulai mengenal dunia luar. Menganggap dirimu sudah remaja. Menyukai lawan jenismu. Ketika itu engkau mulai menjauh dari ibumu. Begitu juga ketika engkau menginjak bangku SMA. Engkau mulai pulang malam dan ketika ibu bertanya darimana, engkau menjawabnya dengan “Ah, ibu mau tau saja urusan orang.”
Dan kini, engkau sudah berada di bangku kuliah. Pertama mengantarkanmu ke kota, ia menahan tangisnya agar tak jatuh ketika melepasmu. Di setiap malam ketika kau tak di rumah, ia tetap setia melantunkan doa-doanya tiap malam. Berharap akan keselamatanmu. Memohon akan tercapainya cita-citamu. Berharap pada-Nya agar mengabulkan segala pintamu dan mewujudkan segala cita-citamu.
“Ya Allah, jagalah anak-anakkku, wujudkanlah cita-citanya, ya Allah.”
Meskipun ibu tak tahu apa yang kita cita-citakan, namun ia senentiasa mendoakan kita. Bukan. Bukan karena ia tak peduli apa yang kita cita-citakan. Namun karena ia ingin melepaskan angan-anagn masa depan kita sesuai harapan dan mimpi kita sendiri. Harapan itu tidak akan pernah berhenti dalam doanya.
Ketika kita jauh dari ibu karena harus menyelesaikan studi, ia tak akan pernah mau untuk menganggu kosentrasi kuliah kita. Ia senantiasa paham bahwa apa yang kita lakukan di kota adalah suatu kebaikan. Karenanya ia tak akan pernah memaksa kita untuk pulang, serindu apapun ia pada kita. Ia selalu bisa menutupi perasaannya ketika kita mengatakan, ”ma’af ya, Bu. Aku belum bisa pulang.” Ia mengesampingkan perasaannya sendiri kala itu. Ia paham, benar-benar paham, bahwa kita sibuk. Sibuk dengan urusan kita. Sibuk dengan kuliah, sibuk dengan amanah. Tapi, bukankan berbakti pada orang tua adalah kewajiban??
Bahkan ketika liburan telah tiba, kita tak juga kunjung pulang. Ketika itu, ia sangat merindukamu. Sangat merindukamu. Bahkan ketika ia menelponmu, engkau katakan (lagi), “ma’af bu, aku belum bisa pulang lagi. Masih ada amanah yang harus diselesaikan.” Dan setelah itu, ia menutup telponnya dengan senyum getir. Lagi-lagi ia harus mengerti.
Sahabatku, saudaraku, orang tua kita pasti tidak akan pernah memaksa kita untuk pulang, untuk hanya sekedar makan bersama atau menonton TV bersama. Ia juga tidak akan pernah marah ketika kita katakan belum punya waktu untuk pulang. Tidak. Ia tidak aka pernah marah. Engkau tahu kenapa?? Karena ia selalu bisa mengerti. Karena ia selalu bisa mengerti.
Namun, pengertiannya yang begitu besar belum tentu bisa menutup rasa sedih dalam hatinya. Ia mengerti, namun bukan berarti ia tak sedih. Ia tersenyum melihat kita hidup bahagia, menggapai cita-cita, namun bukan berarti ia tak berharap dapat bersama lagi dengan kita. Bahkan, ia hanya mengharap sedikit saja perhatian dan kasih sayang kita untuknya. Untuk hanya sekedar melepaskan rindu dan mengenang kebersamaan dulu. Mengenang kebersamaan saat kecil dahulu. Ia akan sangat bahagia memandangi anaknya yang sudah semakin dewasa.
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa,……..( Q.S Al An'aam: 151)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[850]. (Q.S Al Israa': 23)
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S Al-Ankabuut: 8)
Semoga kita bisa menyeimbangkan antara amanah dan orang tua kita. Amin.
kasih Tuhan tak terhingga
BalasHapushttps://yesustuhan.wordpress.com/tag/kasih/