Ia masih termenung di kamarnya. Pandangan matanya tak juga terlepas menatap kertas berukir indah yang tergeletak di atas meja. Rasanya sudah cukup banyak air mata yang tertuang. Ia sendiri bingung. Pantaskah ia merasa sakit hati? Tidak, ia tidak sakit hati . Ia hanya merasa harapannya terkikis habis dan kandas tak tersisa.  Lalu siapa yang harus disalahkan? Tak ada juga. Tapi ia merasa dirinyalah yang salah. Mengapa ia harus berharap begitu besar padanya.
Namanya Zahra. Gadis jelita yang hanya menaruh hati pada satu pria. Tapi Zahra sungguh pandai menyembunyikan segala rasa yang sering mengusik itu. Hingga empat tahun berlalu, tak ada satu orang pun yang tahu siapa laki-laki yang mampu membuatnya jatuh cinta. Bahkan sahabat terdekatnya. Hobinya adalah memandang senja dan mengamati bulan.

Tiba-tiba handphone nya berdering.
“Assalamu’alaikum!” Sapanya.
“Wa’alaikum salam!” Sambut suara dari seberang sana. Suara yang sangat bening dan khas.
“Ada apa Vis?”
“Besok kamu dateng kan keacara pernikahan Aryan? Mau berangkat jam berapa?” Tanyanya bersemangat. Uuuhh… mutiara bening itu menetes lagi dari matanya. Haruskah ia mengatakan bahwa hatinya sedang terluka? Tapi tidak mungkin, karena sampai sekarang belum ada orang yang tahu mengenai segala asa yang bernaung dihatinya selama 4 tahun ini.

“Owh… iya, Insyaallah. Mungkin ba’da ashar. Kenapa Vis?” Tanya Zahra.
“Hmm.. nggak. Aku Cuma mau tahu aja kamu berangkat jam berapa. Ya udah deh, udah dulu ya? Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam.” Huuh.. ada-ada aja. Kirain mau ngajak pergi bareng. Gerutu Zahra

Telepon terputus. Nyeri itu terasa lagi. Zahra beristigfar  dan segera mengambil air wudhu. Ia ingin shalat sunnah sebelum tidur. Semoga Allah memberikan ketenangan dihatinya. Sebelum tidur, ia menyempatkan untuk menyibak sedikit tirai jendela kamarnya. Ia ingin melihat keadaan langit malam itu. Dilihatnya bulan separoh masih menghiasi ditemani kawanan bintang yang selalu setia. Hhh.. masih tetap indah. Andai saja hatiku masih seindah waktu itu. Gumamnya lirih. Setelah itu ia merebahkan tubuh di atas kasurnya. Ia berharap bisa segera masuk kedalam dunia mimpi agar dapat meninggalkan gelisahnya yang tak kunjung pergi.
***
Burung-burung sudah bernyanyi dengan riang. Ayam-ayam mulai sibuk mencari makan. Sungguh awal kehidupan yang sangat menyenangkan. Hangatnya sinar  mentari sepertinya tak dapat menembus hati Zahra yang masih diliputi kedinginan. Tangannya masih sibuk memeras bilasan baju. Namun hatinya menerawang jauh ke masa empat tahun silam. Awal ia melihat laki-laki itu…
………….
Laki-laki itu bernama Aryanda Prasetyo. Lelaki dengan kulit sawo matang, rambut yang senantiasa cepak namun tetap tak bisa menutupi statusnya sebagai rambut keriting. Alis matanya cukup tebal, hidungnya tidak terlalu mancung. Bibir bawahnya agak tebal, senyumnya sungguh luar biasa dan sorot matanya yang tajam. Aryan cukup lincah dan aktif. Mereka sering mempercayainya untuk menjadi ketua pada agenda-agenda organisasi. Dan jadilah sosok Aryan yang lebih menawan saat tampil di depan. Baik sebagai MC, moderator ataupun ketua panitia. Banyak yang menyukainya. Tentu saja karena dia orang yang cukup terkenal. Termasuk teman-teman Zahra sendiri. Tapi tak ada seorang sahabat Zahra yang tahu perihal perasaan yang terus tumbuh dalam diamnya. Ahh.. ia hanya berpikir semua rasanya akan indah bila hanya dia sendiri yang tahu. Ia hanya berdo’a bila memang ditakdirkan untuk berjodoh ia akan memberikan seluruh rasa sayang dan cintanya pada laki-laki itu. Hari terus saja terlewati. Kembali ia bergabung dalam satu kepanitiaan dan Aryan sebagai ketua panitianya. Ia sendiri tiba-tiba bingung harus bersikap bagaimana. Jangan sampai ada orang yang mencurigainya. Itu saja. Biarlah rasa ini tumbuh dengan indah tanpa ada yang mengusiknya. 

Semakin sering ia bekerjasama dengan Aryan sebagai rekan kerja, semakin ia tahu juga watak dari orang yang dikaguminya itu. Hatinya sering berdesir-desir jika melihatnya. Apalagi kalau Aryan tersenyum padanya, walau hanya senyum samar sebagai sapaan biasa. Uuuhh… teman-teman dekatnya juga sangat sering membicarakan Aryan. Dan Zahra hanya diam seolah ia tak memiliki rasa apapun padanya atau dia lebih memilih untuk pergi agar tak mendengar kekaguman-kekaguman mereka pada Aryan.  Ada sebuah percakapan yang tak pernah bisa Zahra lupakan hingga saat ini atau mungkin selamanya.

Sore itu di depan mading kampus. Sepulang dari agenda rapat rutin untuk ulang tahun jurusan di kampusnya. Zahra duduk sendiri membelakangi mading. Dengan begitu ia bisa menatap senja dengan leluasa karena sebentar lagi senja akan tiba. Bagi Zahra senja yang sangat indah adalah saat senja bertengger tepat diatas pucuk pinang yang tumbuh jauh didepan matanya. Kota ini memang banyak tumbuh pohon pinang yang tumbuh dengan gagah. Mading yang satu ini sengaja dibuat menghadap ke lapangan terbuka. Pikirannya melayang entah kemana. Sempat terlintas dibenaknya jika suatu hari Aryan datang melamarnya. Aaahh.. alangkah bahagia hatinya.
“Belum pulang Za?” Tegur Aryan yang tiba-tiba sudah duduk sekitar satu meter disampingnya.
“Ehh.. emm.. Yan.. belum.” Jawan Zahra asal.

“Oohh..” Hanya itu yang keluar dari mulut Aryan. Kemudian Aryan mengambil selembar kertas dan pen. Lalu sibuk menuliskan sesuatu diatasnya. Sedang Zahra semakin sibuk mengontrol hatinya yang semakin sulit dikendalikan. Mereka hanya duduk dalam diam. Tak ada lagi percakapan yang terurai. Zahra sedikit kesal karena ternyata Aryan lumayan cuek juga.

“Aku duluan ya Za? Assalamu’alaikum.”
“Owh.. iya Yan. Wa’alaikum salam. Hati-hati.” Jawab Zahra singkat. Hatinya cukup bahagia, setidaknya ia merasakan juga duduk berdua menanti senja tiba. Walaupun akhirnya ia ditinggal juga. Zahra menoleh ke tempat Aryan duduk tadi. Dilihatnya selembar kertas yang tadi digunakan Aryan menulis. Mungkin ketinggalan atau memang sengaja di tinggal. Masa’ Aryan buang sampah sembarangan sih?

 Zahra meraih kertas tersebut dan dilihatnya. Matanya terpana. Dilihatnya ada gambar seorang perempuan berjilbab, aaahhh.. inikan aku. Gambar yang sangat bagus. Gumam Zahra. Tak lupa juga ternyata ada note dibawah gambar itu. “Jangan pulang terlalu sore. Nanti kemalaman dijalan. Senja memang indah. Aku tahu kamu mengagumi senja. Tapi tidakkah kamu sadar bahwa kamu lebih indah dari senja?” Kalimat itulah yang terbaca olah mata Zahra. Hatinya semakin berbunga-bunga. Ahhh.. apakah ini suatu pertanda? Waktu memang terus berlalu semakin jauh meninggalkan masa itu. Namun goretan-goretan kenangan itu semakin kentara dalam lubuk hati Zahra.
***
Gamis ungu muda dan kerudung yang senada kini telah membalut Zahra dengan indah. Debaran dihatinya semakin kuat ia rasakan. Ia sunggguh takut kalau nanti ia tak dapat menguasai hatinya. Mana mungkin ia menangis di tempat seramai itu nanti. Hmm… aku pasti kuat. Ujarnya menghibur diri sambil melihat bayangannya pada cermin yang membisu. Sekilas melirik jam dinding yang setia menghitung detik-detik waktu yang terus berlalu. Segera ia menyambar tas selempang kecil yang telah ia siapkan sebelumnya. Setelah membaca Bismillah dan memohon perlindungan pada yang maha kuasa ia pun segera meluncur menaiki taksi biru yang yang telah dipesannya. Benaknya di liputi berbagai macam pertanyaan. Siapa gerangan perempuan yang beruntung dapat menjadi pendamping lelaki sholeh itu? Hari ini mereka pasti sedang sangat berbahagia. Gumam Zahra dalam hati. Hampir saja air matanya meluncur lagi.

Waaaw.. acara yang sangat meriah. Gedung yang digunakan cukup terkenal mahal. Sambutan kepada tamu juga luar biasa. Dekorasi ruangannya sangat indah. Zahra berjalan perlahan berputar menikmati suasana yang begitu meriah ini. Sapaan, tawa-tawa bahagia turut menghiasi moment kebahagiaan ini. Ia mengambil piring kecil dan mencomot beberapa potong roti. Banyak sekali pilihan makanan disini. Kalau bisa, ia ingin sekali mencobanya satu persatu. Bersyukur ia masih memiliki rasa malu. Zahra duduk di tempat yang agak belakang agar ia bisa lebih melihat keramaian di ruangan ini. pengantin belum juga menampakkan diri. Katanya sedang berganti kostum. Kaya’ apa ya Aryan kalau pakai kostum pernikahan. Pasti sangat tampan dan gagah. Astagfirullah. Ampuni hamba ya Allah..! kembali ia bergumam dalam hati. Sudah sepuluh menit berlalu. Barulah sepasang pengantin itu duduk bersanding di takhtanya. Zahra terpesona.

Sungguh pasangan yang sangat ideal. Ia memperhatikan sepasang pengantin itu dengan seksama. Mereka mengenakan pakaian pengantin adat dari Jawa, padahal di sini kan dikenal sebagai kota melayu, mungkin karena Aryan keturunan jawa. Senyuman terus merekah dari kedua bibir itu. Kadang mereka mengobrol sebentar lalu keduanya tersenyum. Zahra memfokuskan pandangannya pada pengantin wanitanya. Sepertinya aku kenal. Apa mungkin???? Oowwhhh.. lebih baik aku pastikan saja. Beberapa orang pergi menghampiri sepasang pengantin itu. Mungkin ingin pamit pulang. Setelah tak ada lagi, Zahra segera berdiri. Dengan sekuat tenaga ia langkahkan kakinya. Sungguh ia merasa jaraknya dengan pelaminan sangat jauh sekali dan mustahil untuk sampai disana. Setiap langkahnya ia selalu memohon agar hatinya tetap kuat. Satu langkah lagi. Aryan dan perempuan disampingnya menatap Zahra. Lalu senyum bahagia mengembang dengan sangat lebar menyambut kedatangan Zahra.

“Zahra…akhirnya kamu dateng juga. Aku pikir kamu nggak bakalan dateng.” Cerocos pengantin perempuan itu.
“Makasih ya Za udah mau dateng ke acara pernikahan kami. Mohon do’anya.” Kali ini Aryan yang mengatakan. Zahra mengangguk pelan. Sungguh bibirnya terasa kelu. Semua kata-kata yang telah dirancangnya sejak tadi malam, pergi meninggalkannya sendiri yang seperti menjadi orang paling tolol sedunia. Zahra mencoba menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Setelah beberapa saat semua itu telah kembali normal.
“Nggak mungkin kan aku nggak datang diacara pernikahan temanku sendiri. Acara yang sangat meriah. Oh ya.. semoga langgeng ya, dan jadi keluarga yang sakinah, mawaddah juga warahmah.” Jawab Zahra. Ia memeluk pengantin perempuan itu.

“Kapan kamu nyusul kami Za?” Tanya Aryan. Zahra menatap wajah Aryan. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.
“Insyaallah, secepatnya. Semua sudah di atur sama Allah.” Jawab Zahra dengan bibir sedikit bergetar.
“Iya deh kalau gitu. Aku do’ain ya Za.” Sambung si perempuan itu.
“Kita foto dulu yuk.” Ajak Aryan.

Cukup dua kali jepretan saja. Setelah itu Zahra meninggalkan ruangan yang penuh kemeriahan dan kebahagiaan itu. Getir sekali rasa hatinya. Air matanya tak terbendung lagi. Tangisnya tumpah ruah diperjalanan pulangnya. Sopir taksi itu hanya melihatnya iba tanpa tahu penyebabnya. Zahra ingin berteriak-berteriak sekuat yang ia bisa, tapi jangankan berteriak.. mengucapkan satu kata pun ia tak mampu. Rasa sakit itu benar-benar menjalar keseluruh tubuhnya. Tapi pada siapa ia harus melimpahkan kekesalannya. Tak ada yang bisa disalahkan. Ia sungguh menyesali kebodohannya. Mengapa ia harus mencintai orang yang belum tentu mengharapkannya. Dan kenapa ia tak menyadari wanita yang kini bersanding dengan Aryan. Ia memang tak membaca undangan itu dengan benar. Ia sudah terlanjur shock saat membaca nama Aryan dalam undangan itu tanpa mau membaca siapa wanita yang tertera disitu. Ia membacanya sekali lagi.
Aryanda Prasetyo
Bin Amirul Hamzah
&
Ravista Maharani
Binti Ubaidi Rahmat

Kembali ia ingin menjerit. Mengapa ia tidak membacanya dengan baik. Ternyata sahabat cantiknya, Vista,  yang berhasil memikat sosok sholeh Aryanda Prasetyo. Zahra cukup kesal kenapa Vista tidak pernah memberitahunya. Padahal mereka begitu sering berkomunikasi. Mungkin ia ingin memberi kejutan untukku. Zahra mencoba berpikir positif. Ia kembali beristigfar. Sungguh selama ini ia memendam rasa yang tak pantas untuk di simpan. Taksi terus melaju bersama kendaraan yang lain. satu pelajaran yang kini didapatnya. Sungguh Allah maha benar, mungkin inilah salah satu alasan mengapa kita harus bisa menjaga hati dan pandangan. Karena Allah tidak ingin ada rasa sakit dan sedih seperti yang kini banyak dirasakan oleh manusia. Betapa Allah sangat menyayangi kita, tapi sedikit saja manusia yang mau mengerti dan menaatinya. Astagfirullah…!!! Zahra menatap keluar jendela mobil. Pandangan nanarnya menatap senja yang bertengger di pucuk pinang. Sinarnya yang begitu hangat menyapanya yang sedang gundah. Hh.. suatu hari aku juga pasti akan menemukannya. Lalu kami akan bersama-sama menatap senja di pucuk pinang. Akan kutunjukkan pada senja itu bahwa aku tak kan serapuh ini lagi.

 Senja di pucuk pinang, cukuplah kau yang turut menyaksikan kepiluan hati dalam harapan yang telah sirna ini…..
Hatinya bergumam lirih. Lirih sekali bahkan dirinya pun hampir tak dapat mendengarnya.